Rabu, 20 April 2011

Swasembada Pangan


Nama         : Sakinah Febrianty
NPM          : 26210334
KELAS      : 1EB07

BAB I
PENDAHULUAN
SWASEMBADA PANGAN

Swasembada pangan berarti kita mampu utk mengadakan sendiri kebutuhan pangan masyarakat dengan melakukan realisasi & konsistensi kebijakan tsb, antara lain dengan melakukan:
1.     Pembuatan UU & PP yg berpihak pada petani & lahan pertanian.
2.      Pengadaan infra struktur tanaman pangan seperti: pengadaan daerah irigasi & jaringan irigasi, pencetakan lahan tanaman pangan khususnya padi, jagung, gandum, kedelai dll serta akses jalan ekonomi menuju lahan tsb.
3.     Penyuluhan & pengembangan terus menerus utk meningkatkan produksi, baik pengembangan bibit, obat2an, teknologi maupun sdm petani.
4.     Melakukan Diversifikasi pangan, agar masyarakat tidak dipaksakan utk bertumpu pada satu makanan pokok saja (dlm hal ini padi/nasi), pilihan diversifikasi di indonesia yg paling mungkin adalah sagu, gandum dan jagung (khususnya indonesia timur).
Jadi diversifikasi adalah bagian dr program swasembada pangan yg memiliki arti pengembangan pilihan/ alternatif lain makanan pokok selain padi/nasi (sebab di indonesia makanan pokok adalah padi/nasi). Salah satu caranya adalah dengan sosialisasi ragam menu non pad/nasi.

BAB II
PEMBAHASAN
SWASEMBADA PANGAN

Pembangunan sektor pertanian sebagai bagian integral dari pembangunan nasional semakin penting dan strategis. Pembangunan pertanian telah memberikan sumbangan besar dalam pembangunan nasional, baik sumbangan langsung dalam pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, menyediakan sumber pangan dan bahan baku industri/biofuel, pemicu pertumbuhan ekonomi di pedesaan,  perolehan devisa, maupun sumbangan tidak langsung melalui penciptaan kondisi kondusif bagi pelaksanaan pembangunan dan hubungan sinergis dengan sektor lain.  Dengan demikian, sektor pertanian masih tetap akan berperan besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Belajar dari pengalaman masa lalu dan kondisi yang dihadapi saat ini, sudah selayaknya sektor pertanian menjadi sektor unggulan dalam menyusun strategi pembangunan nasional.  Sektor pertanian haruslah diposisikan sebagai sektor andalan perekonomian nasional. Hal ini sejalan dengan prioritas pembangunan ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu, dimana salah satunya adalah Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan.
Revitalisasi Pertanian dan Perdesaan, secara garis besar ditujukan untuk: (a) meningkatkan peran sektor pertanian dalam perekonomian nasional, (b) menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja non-pertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah terbuka, dan (c) meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan, yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.

Pencapaian hasil sektor pertanian

Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian tahun 2007 s/d 2008 mengalami pertumbuhan yang mengesankan yaitu sekitar 4.41 persen.  Selain itu berdasarkan data kemiskinan  tahun 2005-2008, kesejahteraan penduduk perdesaan dan perkotaan membaik secara berkelanjutan. Berbagai hasil penelitian, menyimpulkan bahwa yang paling besar kontribusinya dalam penurunan jumlah penduduk miskin adalah pertumbuhan sektor pertanian. Kontribusi sektor pertanian dalam menurunkan jumlah penduduk miskin mencapai 66%, dengan rincian 74% di perdesaan dan 55% di perkotaan.
Seiring dengan pertumbuhan ekonomi nasional, Nilai tukar petani (NTP) sebagai salah satu indikator kesejahteraan petani secara konsisten mengalami peningkatan selama periode tahun 2006-2008 dengan pertumbuhan sebesar 2,52 persen per tahun. Dengan kinerja yang kundusif seperti itu, neraca perdagangan  komoditas pertanian mengalami peningkatan secara konsisten selama periode 2005-2008 dengan rata-rata pertumbuhan 29,29 persen per tahun.
Selain itu, pertumbuhan tenaga kerja sektor pertanian  1,56%/tahun, lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan total angkatan kerja (1,24%/tahun) dan tenaga kerja non pertanian yang hanya sekitar 0,98%/tahun. Melihat kondisi tersebut mengakibatkan rata-rata pertumbuhan nilai investasi sektor pertanian tahun 2005 – 2007 mencapai 172,8%/tahun, lebih tinggi dibanding sektor lain.
Selama periode 2004-2008 pertumbuhan produksi tanaman pangan secara konsisten mengalami peningkatan yang signifikan. Produksi padi meningkat rata-rata 2,78% per tahun (dari 54,09 juta ton GKG tahun 2004 menjadi 60,28 juta ton GKG tahun 2008 (ARAM III), bahkan bila dibanding produksi tahun 2007, produksi padi tahun 2008 meningkat 3,12 juta ton (5,46%). Pencapaian angka produksi padi tersebut merupakan angka tertinggi yang pernah dicapai selama ini, sehingga tahun 2008 Indonesia kembali dapat mencapai swasembada beras, bahkan terdapat surplus padi untuk ekspor sebesar 3 juta ton. Keberhasilan tersebut telah diakui masyarakat international, sebagaimana terlihat pada Pertemuan Puncak tentang Ketahanan Pangan di Berlin bulan Januari 2009.  Beberapa negara menaruh minat untuk mendalami strategi yang ditempuh Indonesia dalam mewujudkan ketahan pangan.
Demikian pula produksi jagung meningkat 9,52% per tahun (dari 11,23 juta ton pipilan kering tahun 2004 menjadi 15,86 juta ton tahun 2008). Bahkan dibanding produksi jagung tahun 2007, peningkatan produksi jagung tahun 2008 mencapai 19,34% (naik 2,57 juta ton).  Pencapaian produksi jagung tahun 2008 juga merupakan produksi tertinggi yang pernah dicapai selama ini. Selanjutnya, produksi kedele  juga meningkat 2,98% per tahun dari 723 ribu ton biji kering tahun 2004 menjadi 761 juta ton biji kering tahun 2008 (ARAM III).
Peningkatan produksi tanaman pangan yang spektakuler tahun 2008 (terutama padi, jagung, gula, sawit, karet, kopi, kakao dan daging sapi dan unggas), dapat dijelaskan oleh beberapa faktor. Pertama, Tingginya motivasi petani/pelaku usaha pertanian utnuk berproduksi karena pengaruh berbagai kebijakan dan program pemerintah meliputi penetapan harga, pengendalian impor, subsidi pupuk dan benih, bantuan benih gratis, penyediaan modal, akselerasi penerapan inovasi teknologi, dan penyuluhan.. Kedua, perkembangan harga-harga komoditas pangan di dalam negeri yang kondusif sebagai refleksi dari perkembangan harga di pasar dunia dan efektifitas kebijakan pemerintah. Ketiga, kondisi iklim memang sangat kondusif dengan curah hujan yang cukup tinggi dan musim kemarau relatif pendek.
Untuk komoditas sumber pangan lainnya, produksi gula/tebu juga meningkat 6,76% per tahun dari 2,05 juta ton tahun 2004 menjadi 2,85 juta ton tahun 2008 (ARAM III). Demikian juga untuk komoditas daging sapi, baik dari segi populasi maupun produksi daging meningkat cukup besar. Peningkatan populasi ternak mencapai 12,75% (dari 10,5 juta ekor tahun 2004 menjadi 11,87 juta ekor tahun 2008), sedangkan produksi daging sapi meningkat 3,83% (dari 339,5 ribu ton menjadi 352,4 ribu ton).

Strategi kebijakan pembangunan pertanian

Tujuan akhir pembangunan pertanian adalah terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui sistem pertanian industrial. Secara operasional pencapaian tujuan tersebut ditempuh melalui tahapan-tahapan pembangunan jangka panjang, jangka menengah dan jangka pendek. Kebijakan dan program pembangunan pertanian jangka panjang dijabarkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan selanjutnya dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan pertanian tahunan.
Dalam rangka menjaga kesinambungan pembangunan, Departemen Pertanian telah menyusun Cetak Biru (Blue Print) Pembangunan Pertanian Jangka Panjang (2005 - 2025), Jangka Menengah (2005-2009) dan tahunan. Adapun sasaran jangka panjang pembangunan pertanian, adalah : (1) Terwujudnya sistem pertanian industrial yang berdayasaing; (2) Mantapnya ketahanan pangan secara mandiri;  (3) Terciptanya kesempatan kerja bagi masyarakat pertanian serta (4)  Terhapusnya kemiskinan di sektor pertanian dan tercapainya pendapatan petani US$ 2500/kapita/tahun.
Tujuan jangka menengah pembangunan pertanian (2005-2009) adalah : (1) membangun SDM aparatur profesional, petani mandiri, dan kelembagaan pertanian yang kokoh; (2) meningkatkan pemanfaatan sumberdaya pertanian secara berkelanjutan; (3) memantapkan ketahanan dan keamanan pangan; (4) meningkatkan daya saing dan nilai tambah produk pertanian; (5) menumbuh-kembangkan usaha pertanian yang akan memacu aktivitas ekonomi perdesaan; dan (6) membangun sistem manajemen pembangunan pertanian yang berpihak kepada petani.
Untuk pencapaian tujuan tersebut pemerintah menyusun strategi, kebijakan dan mengimplementasikan berbagai program/kegiatan pembangunan pertanian, baik lintas subsektor maupun program subsektor. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2005-2009, ada tiga kebijakan utama yang diimplementasikan Departemen Pertanian, yaitu:  (1) Peningkatan Produksi Pangan dan Akses Rumah Tangga terhadap Pangan; (2) Peningkatan Produktivitas dan Kualitas Produk Pertanian; (3) Perluasan Kesempatan Kerja dan Diversifikasi Ekonomi Perdesaan.
Selanjutnya, dalam implementasi kebijakan-kebijakan tersebut ada dua strategi besar yang ditempuh Departemen Pertanian. Pertama, memperkokoh fondasi pembangunan pertanian melalui Panca Yasa, ditempuh dengan strategi : (1) Penyediaan/perbaikan infrastruktur; (2)  Penguatan kelembagaan; (3) Perbaikan sistem penyuluhan; (4) Penanganan pembiayaan pertanian; (5) Fasilitasi pemasaran hasil pertanian
Kedua, melakukan Akselerasi pembangunan pertanian, yang ditempuh melalui strategi, yaitu: a) melibatkan partisipasi berbagai komponen masyarakat, b) padanan satu desa – satu penyuluh, c) sinergisme seluruh potensi sumberdaya, d) fokus komoditas, e) perencanaan berdasarkan master plan  dan road map, f) penguatan Sistem Monitoring dan Data Base, dan g) pengarusutamaan gender dan pendekatan sosial budaya.
Dengan beragamnya jenis komoditas pertanian yang tumbuh di Indonesia, diperlukan strategi yang tepat dalam menentukan pilihan komoditas yang prioritas untuk dikembangkan. Prioritas penanganan difokuskan pada komoditas pertanian yang secara nasional dapat memberikan dampak nyata dan dirasakan hasilnya oleh petani, maupun masyarakat konsumen.  Sehubungan itu, telah dirumuskan lima komoditas pangan utama yang diprioritaskan dengan sasaran akhir sebagai berikut:  (a) padi dengan sasaran swasembada berkelanjutan; (b) jagung dengan sasaran swasembada tahun 2007-2008; (c) kedele dengan sasaran swasembada tahun 2015; (d) gula dengan sasaran swasembada tahun 2009; dan (e) daging sapi dengan sasaran mencapai kecukupan tahun 2010.

Masalah dan Tantangan dalam Pembangunan Pertanian

Tantangan dan permasalahan mendasar pembangunan sektor pertanian berkaitan dengan sarana prasarana, permodalan, pasar, teknologi, dan kelembagaan petani, yang masih memerlukan penanganan yang berkelanjutan disamping munculnya persoalan-persoalan baru.  Walaupun dihadapkan pada berbagai permasalahan dan hambatan, sektor pertanian telah mampu menunjukkan keberhasilan dan perkembangan yang menggembirakan.
Khusus untuk masalah lahan pertanian, rendahnya perluasan sawah irigasi di Indonesia antara lain disebabkan oleh derasnya konversi lahan sawah beririgasi sejak lebih dari dua dasawarsa terakhir khususnya di pulau Jawa. Antara tahun 1978 – 1998, misalnya konversi lahan sawah irigasi adalah sebesar satu juta ha.  Padahal kenyataannya sawah irigasi masih tetap merupakan sumberdaya lahan yang terpenting dalam mendukung produksi padi. Pangsa areal panen sawah masih memberikan kontribusi sebesar sekitar 90 persen sedangkan pangsa produksi berkisar 95 persen. Bila terjadi penurunan luas sawah irigasi yang tidak terkendali maka akan mengakibatkan turunnya kapasitas lahan sawah untuk memproduksi padi. Lebih dari itu jika proses degradasi kualitas jaringan irigasi terus berlanjut maka eksistensi lahan tersebut sebagai sawah sulit dipertahankan. Yang segera akan terjadi adalah alih fungsi lahan sawah tersebut ke penggunaan lain (pertanian lahan kering ataupun ke peruntukan non pertanian).
Data empiris menunjukkan bahwa untuk mencapai pertumbuhan produksi padi sawah 4,78 persen (Tahun 2003-2007), dibutuhkan pertumbuhan luas lahan sawah sebesar 2,47 persen.  Hal ini menunjukkan penambahan luas lahan sawah masih sangat dibutuhkan dalam peningkatan produksi padi. Hal ini dapat dilihat dari anggaran yang cukup besar dalam pembangunan pertanian, dimana selama periode 2002-2007, rata-rata anggaran pertanian yang terbesar adalah untuk sarana dan prasarana (infrastruktur) yaitu 10,5 persen dan yang kedua adalah bantuan permodalan sebesar 8,5 persen.  Urutan berikutnya adalah penyuluhan (2,7%), penelitian dan pengembangan (1,6%), dan pendidikan dan latihan (1,3%).
Tidak hanya dalam pengelolaan sumber daya alam, dalam kebijakan insentif harga juga dilakukan seperti pada kebijakan insentif harga yang dapat dilihat dari peninjauan HPP setiap tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi kenaikan HPP gabah sebesar 10% akan mendorong peningkatan harga beras sebesar  8,1%. Peningkatan harga beras 10% akan  meningkatkan jumlah penduduk miskin sebesar 1%.  Peningkatan harga beras 10% meningkatkan inflasi 0,52%. Inilah tantangan secara makro dalam perekonomian nasional bagaimana disatu sisi dapat meningkatkan harga untuk kepentingan petani namun dipihak lain ada sebagian masyarakat merasa dirugikan.  Walaupun demikian keberhasilan pembangunan pertanian bisa mengakibatkan jumlah rumah tangga petani khususnya rumah tangga petani padi dan palawija meningkat sebesar 4,06 persen.
Beberapa kebijakan pokok yang memberikan kontribusi terhadap pencapaian produksi pangan tersebut adalah: (a) Pengawalan Dan Bantuan Sarana Produksi: benih/bibit unggul, pupuk, alat mesin pertanian, obat hewan; (b) Bantuan Permodalan: fasilitas kredit kkp-E, BLM- KIP, PUAP, DPM-LUEP, KP-ENRP, LM3, PMUK; (C) Perbaikan Infrastruktur Pertanian: perluasan Areal, JITUT, JIDES, TAM, jalan usaha tani, embung, pengembangan irigasi air tanah; (d) Fasilitasi Pengembangan Pasar dan Peningkatan Mutu Produk; (e) Inovasi dan Percepatan Diseminasi Teknologi; (f) Pendampingan dan pengawalan intensif: SL PHT, SL PHP,  SL Iklim, penyuluh, tokoh masyarakat, aparat; (g) Penyediaan Dana Tanggap Darurat;  dan (h) Koordinasi Intensif  Pusat - Daerah.




BAB III
KESIMPULAN
SWASEMBADA PANGAN

Sebagai sektor strategis, pembangunan pertanian menghadapi berbagai tantangan dan permasalahan serta kondisi lingkungan sosial-ekonomi-politik-budaya yang sangat dinamis.  Departemen Pertanian sebagai penanggungjawab dan simpul koordinasi pembangunan pertanian telah menyusun dan mengembangkan berbagai target pembangunan dengan menetapkan tujuan, arah, strategi, dan kebijakan sebagai pedoman bagi seluruh pelaku pembangunan pertanian. Operasionalisasi pembangunan pertanian jangka panjang yang dijabarkan dalam rencana pembangunan jangka menengah (lima tahunan) dan dijabarkan lebih lanjut ke dalam rencana pembangunan pertanian tahunan. Strategi pencapaian masing-masing tujuan dijabarkan dengan jelas, didukung dengan kebijakan dan program yang akan diimplementasikan secara menyeluruh, teritegrasi, efisien dan sinergi, baik oleh pemerintah melalui internal Departemen Pertanian, bekerjasama dengan instansi luar pertanian, maupun dengan swasta dan pengusaha serta mengupayakan keterlibatan masyarakat terutama petani.




DAFTAR PUSTAKA

Selasa, 12 April 2011

Penanaman Modal Asing


Nama: Sakinah Febrianty
Kelas: 1EB07
NPM: 26210334

BAB I
PENDAHULUAN
MODAL ASING

Dalam ilmu ekonomi, faktor produksi adalah sumber daya yang digunakan dalam sebuah proses produksi barang dan jasa. Pada awalnya, faktor produksi dibagi menjadi empat kelompok, yaitu tenaga kerja, modal, sumber daya alam, dan kewirausahaan. Namun pada perkembangannya, faktor sumber daya alam diperluas cakupannya menjadi seluruh benda tangible, baik langsung dari alam maupun tidak, yang digunakan oleh perusahaan, yang kemudian disebut sebagai faktor fisik (physical resources). Selain itu, beberapa ahli juga menganggap sumber daya informasi sebagai sebuah faktor produksi mengingat semakin pentingnya peran informasi di era globalisasi ini.(Griffin R: 2006) Secara total, saat ini ada lima hal yang dianggap sebagai faktor produksi, yaitu tenaga kerja (labor), modal (capital), sumber daya fisik (physical resources), kewirausahaan (entrepreneurship), dan sumber daya informasi (information resources).


BAB II
PEMBAHASAN
MODAL ASING

Yang dimaksud dengan modal adalah barang-barang atau peralatan yang dapat digunakan untuk melakukan proses produksi. Modal dapat digolongkan berdasarkan sumbernya, bentuknya, berdasarkan pemilikan, serta berdasarkan sifatnya. Berdasarkan sumbernya, modal dapat dibagi menjadi dua: modal sendiri dan modal asing. Modal sendiri adalah modal yang berasal dari dalam perusahaan sendiri. Misalnya setoran dari pemilik perusahaan. Sementara itu, modal asing adalah modal yang bersumber dari luar perusahaan. Misalnya modal yang berupa pinjaman bank.
Berdasarkan bentuknya, modal dibagi menjadi modal konkret dan modal abstrak. Modal konkret adalah modal yang dapat dilihat secara nyata dalam proses produksi. Misalnya mesin, gedung, mobil, dan peralatan. Sedangkan yang dimaksud dengan modal abstrak adalah modal yang tidak memiliki bentuk nyata, tetapi mempunyai nilai bagi perusahaan. Misalnya hak paten, nama baik, dan hak merek.
Berdasarkan pemilikannya, modal dibagi menjadi modal individu dan modal masyarakat. Modal individu adalah modal yang sumbernya dari perorangan dan hasilnya menjadi sumber pendapatan bagi pemiliknya. Contohnya adalah rumah pribadi yang disewakan atau bunga tabungan di bank. Sedangkan yang dimaksud dengan modal masyarakat adalah modal yang dimiliki oleh pemerintah dan digunakan untuk kepentingan umum dalam proses produksi. Contohnya adalah rumah sakit umum milik pemerintah, jalan, jembatan, atau pelabuhan.
Terakhir, modal dibagi berdasarkan sifatnya: modal tetap dan modal lancar. Modal tetap adalah jenis modal yang dapat digunakan secara berulang-ulang. Misalnya mesin-mesin dan bangunan pabrik. Sementara itu, yang dimaksud dengan modal lancar adalah modal yang habus digunakan dalam satu kali proses produksi. Misalnya, bahan-bahan baku.

1.     Manfaat Bagi Negara Pemberi dan Negara Penerima
Seperti halnya perdagangan internasional, mobilisasi K antar negara mempunyai manfaat bagi negara pengekspor maupun pengimpor K tersebut. Proyek I dengan tingkat pengembalian (return on investment; ROI) yang tinggi di suatu negara tidak akan dikorbankan karena kelangkaan dana, sementara proyek I dengan hasil yang rendah di  negara yang memiliki dana berlimpah dapat terus dilaksanakan.
Namun, manfaat dari adanya I dari DCs di LDCs juga harus dilihat dalam bentuk pertumbuhan output (PDB), kesempatan kerja dan pendapatan, peralihan teknologi (T), pengetahuan manajemen, dan lain-lain.

2.       Pembiayaan Defisit Tabungan-Investasi (S-I Gap)
Bagi Indonesia, K asing diperlukan bukan hanya untuk membiayai defisit TB (M) atau menutupi kekurangan CD, tetapi juga untuk membiayai I di dalam negeri (pembentukan modal bruto domestik). Defisit TB paling tidak harus di kompensasi dalam jumlah yang sama oleh surplus CA agar CD tidak berkurang. Berarti semakin besar defisit TB, semakin besar arus K masuk yang diperlukan untuk menjaga agar CD tidak berkurang.
Berdasarkan data BPS (National Account Statistics), Indonesia selalu kekurangan dana domestik dari S untuk membiayai I, terkecuali pada tahun-tahun tertentu jumlah S nasional lebih banyak daripada nilai I domestik.
Ketergantungan pada K asing bukan hanya dialami oleh LDCs. Banyak juga DCs atau negara berpenghasilan menengah dan tinggi juga mengalami S-I gap. Hal ini bisa dikarenakan banyaknya I asing (bukan K asing dalam benntuk pinjaman) yang masuk karena negara-negara tersebut sangat menarik untuk I.

3.       Perkembangan Arus Modal Masuk
Data yang dipublikasikan oleh lembaga-lembaga dunia seperti Bank Dunia, UNIDO, UNCTAD menunjukkan perkembangan arus I internasional dari DCs ke LDCs sangat pesat terutama sejak akhir 1980-an. Perkembangan ini ditandai oleh peningkatan partisipasi dari investor-investor dan lembaga-lembaga keuangan dari DCs di pasar uang / K di LDCs. Arus I dari DCs ke LDCs bahkan lebih besar daripada arus perdagangan antara kedua kelompok negara tersebut. Menurut Montiel (1993), Taylor, dan Sarno (1997), perkembangan ini didorong terutama oleh liberalisasi pasar uang dan K di banyak LDCs termasuk Indonesia menjelang akhir 1980-an yang antara lain menghapuskan pengawasan pemerintah terhadap lalu lintas K dan membebaskan tingkat suku bunga kepada mekanisme pasar.
Sebenarnya yang penting untuk diperhatikan bukan angka persetujuan, tetapi angka realisasi, dan kalau dilihat angka realisasinya, gambaran mengenai pertumbuhan I di Indonesia lebih buruk lagi. Data dari BKPM yang diolah oleh Litbang harian Kompas menunjukkan bahwa nilai realisasi I langsung di Indonesia, baik PMDN maupun PMA rata-rata per tahun sangat kecil sebagai suatu persentase dari nilai I yang disetujui.

4.        Arus Modal Resmi
Arus K resmi baik dalam bentuk pinjaman mamupun ’bantuan pembangunan’ (ODA) dari negara-negara donor secara individu (pinjaman bilateral) atau dari lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF dan Bank Dunia. Bagian terpenting dari arus K resmi yang diterima oleh pemerintah Indonesia setiap tahun adalah bantuan pembangunan dalam bentuk pinjaman dengan bunga sangat murah dan persyaratan-persyaratan sangat lunak, maupun dalam bentuk hibah. Bantuan pembangunan ini digunakan untuk membiayai kegiatan-kegiatan pembangunan, baik proyek maupun program. Ketergantungan pemerintah terhadap bantuan pembangunan dari sumber eksternal berkorelasi negatif terhadap defisit keuangan pemerintah (anggaran pendapatan dan belanja negara: APBN) yang dapat dijelaskan dalam suatu persamaan sederhana sebagai berikut:
                  BPN = G – Ty
Terdapat suatu korelasi antara APBN dan saldo TB yang dapat dijelaskan dengan beberapa persamaan berikut:
      Y = C + G + I + X - M
Selanjutnya dari persamaan definisi Y tersebut didapat persamaan berikut:
      Y – C + Ty = G + I + X – M
Atau
      S + Ty = G + I + X – M
Atau
      S – I + Ty = G + X – M
Apabila tidak ada S-I gap atau ekonomi internal seimbang (S=I), maka didapat:
Ty – G (saldo APBN) = X – M (Saldo TB)
 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa defisit TB mempunyai suatu korelasi yang kuat dengan arus K asing resmi atau BPN. Hal ini dibuktikan oleh pengalaman Indonnesia selama pemerintahan Soeharto hingga sekarang.


BAB III
KESIMPULAN
MODAL ASING
Penanaman Modal Asing à Penanaman modal asing yang dilakukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia dan menanggung segala resiko penanaman modal tersebut secara langsung. (Pasal 1)
Sedangkan Modal Asing itu sendiri adalah Alat pembayaran luar negeri yang tidak berasal dari kekayaan devisa Indonesia. Termasuk alat-alat perusahaan dan penemuan baru milik orang asing yang diimpor. (Pasal 2)


DAFTAR PUSTAKA
2.        Tamunan,Tulus T.H. (2003), Perekonomian Indonesia,Jakarta:Ghalia Indonesia


Usaha Kecil Menengah

Nama: Sakinah Febrianty
NPM: 26210334
Kelas: 1EB07


BAB I
PENDAHULUAN
USAHA KECIL MENENGAH

UKM di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan, serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah tersebut di atas.
Karakteristik UKM di Indonesia, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh AKATIGA, the Center for Micro and Small Enterprise Dynamic (CEMSED), dan the Center for Economic and Social Studies (CESS) pada tahun 2000, adalah mempunyai daya tahan untuk hidup dan mempunyai kemampuan untuk meningkatkan kinerjanya selama krisis ekonomi. Hal ini disebabkan oleh fleksibilitas UKM dalam melakukan penyesuaian proses produksinya, mampu berkembang dengan modal sendiri, mampu mengembalikan pinjaman dengan bunga tinggi dan tidak terlalu terlibat dalam hal birokrasi.
Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil Menengah (UKM), diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No 316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan.



BAB II
PEMBAHASAN
USAHA KECIL MENENGAH


UKM adalah singkatan dari usaha kecil dan menengah. Ukm adalah salah satu bagian penting dari perekonomian suatu negara maupun daerah, begitu juga dengan negara indonesia ukm ini sangat memiliki peranan penting dalam lajunya perekonomian masyarakat. Ukm ini juga sangat membantu negara/pemerintah dalam hal penciptaan lapangan kerja baru dan lewat ukm juga banyak tercipta unit unit kerja baru yang menggunakan tenaga-tenaga baru yang dapat mendukung pendapatan rumah tangga. Selain dari itu ukm juga memiliki fleksibilitas yang tinggi jika dibandingkan dengan usaha yang berkapasitas lebih besar. Ukm ini perlu perhatian yang khusus dan di dukung oleh informasi yang akurat, agar terjadi link bisnis yang terarah antara pelaku usaha kecil dan menengah dengan elemen daya saing usaha, yaitu jaringan pasar. Terdapat dua aspek yang harus dikembangkan untuk membangun jaringan pasar, aspek tersebut adalah :
1. Membangun Sistem Promosi untuk Penetrasi Pasar
2. Merawat Jaringan Pasar untuk Mempertahankan Pangsa Pasar
Kinerja nyata  yang dihadapi oleh sebagian besar usaha terutama mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia yang paling menonjol adalah rendahnya tingkat produktivitas, rendahnya nilai tambah, dan rendahnya kualitas produk. Walau diakui pula bahwa UMKM menjadi lapangan kerja bagi sebagian besar pekerja di Indonesia , tetapi kontribusi dalam output nasional di katagorikan rendah.  Hal ini dikarenakan UMKM, khususnya usaha mikro dan sektor pertanian (yang banyak menyerap tenaga kerja), mempunyai produktivitas yang sangat rendah. Bila upah dijadikan produktivitas, upah rata-rata di usaha mikro dan kecil umumnya berada dibawah upah minimum. Kondisi ini merefleksikan produktivitas sektor mikro dan kecil yang rendah bila di bandingkan dengan usaha yang lebih besar.
Di antara berbagai faktor penyebabnya, rendahnya tingkat penguasaan teknologi dan kemampuan wirausaha di kalangan UMKM menjadi isue yang mengemuka saat ini. Pengembangan UMKM secara parsial selama ini tidak banyak memberikan hasil yang maksimal terhadap peningkatan kinerja UMKM, perkembangan ekonomi secara lebih luas mengakibatkan tingkat daya saing kita tertinggal dibandingkan dengan negara-negara tetangga kita seperti misalnya Malaysia. Karena itu kebijakan bagi UMKM bukan karena ukurannya yang kecil, tapi karena produktivitasnya yang rendah. Peningkatan produktivitas pada UMKM, akan berdampak luas pada perbaikan kesejahteraan rakyat karena UMKM adalah tempat dimana banyak orang menggantungkan sumber kehidupannya.  Salah satu alternatif dalam meningkatkan produktivitas UMKM adalah dengan melakukan modernisasi sistem usaha dan perangkat kebijakannya yang sistemik sehingga akan memberikan dampak yang lebih luas lagi dalam meningkatkan daya saing daerah.
Untuk meningkatkan daya saing UMKM diperlukan langkah bersama untuk mengangkat kemampuan teknologi dan daya inovasinnya. Dalam hal ini inovasi berarti sesuatu yang baru bagi si penerima yaitu komunitas UMKM yang bersangkutan. Kemajuan ekonomi terkait dengan tingkat perkembangan ‘technical change’ yang berarti tahap penguasaan teknologi. “Technical change” sebagian terbesar bersifat “tacit” atau tidak terkodifikasi dan dibangun di atas pengalaman. Juga bersifat kumulatif ( terbentuk secara ‘incremental’ dan dalam waktu yang tertentu ). Waktu penguasaan teknologi ini bergantung pada sektor industrinya ( ‘sector specific’) dan proses akumulasinya mengikuti trajektori tertentu yang khas.
Agar supaya pengenalan teknologi dapat menghasilkan ‘technical change’ dan inovasi dalam dunia usaha diperlukan beberapa kondisi :
·         Kemampuan UKM untuk menyerap, mengadopsi dan menerapkan teknologi baru dalam usahanya.
·         Tingkat kompatibilitas teknologi ( spesifikasi, harga, tingkat kerumitan ) dengan kebutuhan dan kemampuan UKM yang ada.
·         Ketersediaan dukungan teknis yang relevan dan bermutu untuk proses pembelajaran dalam menggunakan teknologi baru tersebut.
Untuk komersialisasi teknologi hasil riset (apalagi penemuan baru) banyak menghadapi kendala: sumber teknologi: teknologi bersifat capital intensive dan belum mempunyai nilai ekonomis, memerlukan waktu lama dalam penyesuaian terhadap kebutuhan pasar, banyak jenis teknologi yang teruji dalam tingkatan bisnis; sistem insentif komersialisasi teknologi lemah; arus utama sistem industri.
Umumnya komunitas UMKM memiliki sekelompok kecil yang kreatif dan mampu mengambil peran ‘risk taker’. Kelompok ini cenderung menjadi ‘early adopter’ untuk teknologi baru. Sebagian besar cenderung menunggu karena mereka membutuhkan bukti nyata (‘tangible’) bahwa teknologi baru tersebut dapat memberi keuntungan. Dua aspek yang berlangsung inheren dalam proses ini adalah berinovasi ( ‘innovating’) dan pembelajaran ( ‘learning’).
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
1.                            Livelihood Activities, merupakan UKM yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum dikenal sebagai sektor informal. Contohnya adalah pedagang kaki lima
2.                            Micro Enterprise, merupakan UKM yang memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3.                            Small Dynamic Enterprise, merupakan UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan subkontrak dan ekspor
4.                            Fast Moving Enterprise, merupakam UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi menjadi Usaha Besar (UB)

A.              Undang-Undang dan Peraturan Tentang UKM
Berikut ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM
1.         UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2.         PP No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3.         PP No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4.         Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5.         Keppres No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar Dengan Syarat Kemitraan
6.         Keppres No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7.         Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8.         Permenneg BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9.         Undang-undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah

B.               Definisi dan Kriteria UKM Menurut Lembaga dan Negara Asing
Pada prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada aspek-aspek sebagai berikut : (1) jumlah tenaga kerja, (2) pendapatan dan (3) jumlah aset. Paparan berikut adalah kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lemabaga asing.
1.      World Bank, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
a.       Medium Enterprise
b.      Small Enterprise
c.       Micro Enterprise
2.      Singapura mendefinisikan UKM sebagai usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap (fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
3.      Malaysia, menetapkan definisi UKM sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $ 2,5 juta. Definisi ini dibagi menjadi dua, yaitu :
a.       Small Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
b.      Medium Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4.      Jepang, membagi UKM sebagai berikut :
a.       Mining and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
b.      Wholesale, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 840 ribu
c.       Retail, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 820 ribu
d.      Service, dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham sampai US$ 420 ribu
5.      Korea Selatan, mendefinisikan UKM sebagai usaha yang jumlahnya di bawah 300 orang dan jumlah assetnya kurang dari US$ 60 juta
6.      European Commision, membagi UKM ke dalam 3 jenis, yaitu :
a.       Medium-sized Enterprise, dengan kriteria :
·         Jumlah karyawan kurang dari 250 orang
·         Pendapatan setahun tidak melebihi $ 50 juta
·         Jumlah aset tidak melebihi $ 50 juta
b.      Small-sized Enterprise, dengan kriteria :
·         Jumlah karyawan kurang dari 50 orang
·         Pendapatan setahun tidak melebihi $ 10 juta
·         Jumlah aset tidak melebihi $ 13 juta
c.       Micro-sized Enterprise, dengan kriteria :
·         Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
·         Pendapatan setahun tidak melebihi $ 2 juta
·         Jumlah aset tidak melebihi $ 2 juta

C.              Komparasi Karakteristik Dasar UKM
Karakteristik-karakteristik dasar tersebut adalah sebagai berikut :
1.         Karakteristik dasar UKM di Jepang adalah sebagai berikut :
a.       Sebagai subkontraktor yang efisien dan handal bagi perusahaan yang besar.
b.      Hasil learning process sebagai subkontraktor diperoleh kemampuan teknis dalam proses produksi
c.       Mempunyai efisiensi dan daya saing ekspor
d.      Dikembangkan IKM yang sangat efisien dan berdaya saing tinggi.
2.      Karakteristik dasar UKM di Korea Selatan adalah sebagai berikut :
a.       UKM dijadikan sebagai subkontraktor chaebol (konglomerat raksasa) sebagai kebijakan pemerintah
b.      Mempunyai orientasi ekspor
c.       Adanya persaingan internal
3.      Karakteristik dasar UKM di Taiwan adalah sebagai berikut :
a.       Pertumbuhan UKM disebabkan oleh kebijakan finansial melalui kredit yang disalurkan
b.      Mempunyai orientasi ekspor
4.      Karakteristik dasar UKM di Filipina adalah sebagai berikut :
a.       Mempunyai export zone
b.      Mempunyai orientasi ekspor
c.       Bahan baku lokal
d.      Perubahan pola subkontrak menjadi original equipment manufacturing (OEM).
e.       Menuju industi yang high technology
5.      Karakteristik dasar UKM di Indonesia adalah sebagai berikut :
a.       Rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia
b.      Masih lemahnya struktur kemitraan dengan Usaha Besar
c.       Lemahnya quality control terhadap produk
d.      Belum ada kejelasan standardisasi produk yang sesuai dengan keinginan konsumen
e.       Kesulitan dalam akses permodalan terutama dari sumber-sumber keuangan yang formal
f.       Pengetahuan tentang ekspor masih lemah
g.      Lemahnya akses pemasaran
h.      Keterbatasan teknologi, akibatnya produktivitas rendah dan rendahnya kualitas produk
i.        Keterbatasan bahan baku


BAB III
KESIMPULAN
USAHA KECIL MENENGAH

Beberapa lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil Menengah (UKM). Menurut Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM), bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah entitas usaha yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah (UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan. Badan Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kuantitas tenaga kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5 s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki tenaga kerja 20 s/d 99 orang. Indonesia memiliki beberapa jenis UKM, di antaranya adalah artisanal, aktif, dinamika, advanced.


DAFTAR PUSTAKA