Rabu, 16 Februari 2011

Sistem Perekonomian Indonesia


Tugas Softskill
Sistem Perekonomian Indonesia






Nama               : Sakinah Febrianty
NPM               : 26210334
Kelas               : 1EB07
Fakultas           : Ekonomi
Jurusan            : Akutansi



BAB 1
PENDAHULUAN

Pola dan proses dinamika pembangunan ekonomi di suatu negara sangat ditentukan oleh banyak faktor, baik internal (domstik) maupun eksternal (global). Faktor-faktor internal, diantaranya adalah kondisi fisik (termasuk iklim), lokasi geografi, jumlah dan kualitas sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, sistem politik serta peran pemerintah di dalam ekonomi. Sedangkan, faktor-faktor eksternal diantaranya adalah perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, serta keamanan global.
            Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa keberhasilan pembangunan dari suatu negara, khususnya negara berkembang, tidak terlepas dari sistem perekonomian  atau pembangunan ekonomi yang diterapkan, infrastruktur fisik dan sosial, serta tingkat pembangunan yang telah dicapai pada masa penjajahan.
            Sehingga dapat dikatakan bahwa yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan ekonomi bukan ”warisan” dari negara penjajah, melainkan orientasi politik, sistem ekonomi serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintah yang berkuasa setelah lenyapnya kolonialisasi, terutama pada tahun-tahun pertama setelah merdeka karena tahun-tahun tersebut merupakan periode yang sangat kritis dan sangat menentukan kelanjutan pembanguan selanjutnya. Dapat disimpulkan apabila penerapan sistem ekonomi serta kebijakan-kebijakan yang diterapkan oleh rezim pemerintah yang berkuasa pada tahun-tahun pertama setelah merdeka dikatakan kurang tepat, atau hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik, perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri, ditambah lagi dengan manajemen makro yang buruk pada tahun-tahun pertama setelah merdeka, maka dalam kondisi politik dan sosial dalam negeri seperti ini sangat sulit sekali bagi pemerintah utuk mengatur perekonomian dengan baik di tahun-tahun berikutnya.
            Dapat dilihat dari pengalaman Indonesia sendiri menunjukan bahwa pada zaman Pemerintahan Orde Lama, rezim yang berkuasa menerapkan sistem ekonomi tertutup dan lebih mengutamakan kekuatan militer daripada kekuatan ekonomi. Ini semua menyebabkan ekonomi nasional pada masa itu mengalami stagnasi atau pembangunan praktis tidak ada.
            Pentingnya mempelajari suatu sejarah perekonomian untuk suatu negara khususnya Indonesia. Karena, dengan mempelajari sejarah perekonomian negara itu sendiri diharapkan dapat memecahkan suatu permasalahan perekonomian dari negara itu sendiri. Sehingga dapat mengambil keputusan untuk menerapkan sistem ekonomi yang dapat dikatakan pantas untuk negara itu. Maka dari itu dalam bab ini saya akan membahas mengenai sejarah ekonomi Indonesia pada masa Pemerintahan Orde Lama (1950-1996), hingga pada masa Pemerintahan Megawati (2001 sampai sekarang), serta sistem ekonomi Indonesia.


BAB 2
SEJARAH DAN SISTEM
EKONOMI INDONESIA

2.1 SEJARAH EKONOMI INDONESIA
2.1.1 Pemerintahan Orde Lama
Selama pemerintahan Orde Lama, keadaan perekonomian Indonesia sangat buruk, walaupun sempat mengalami pertumbuhan dengan laju rata-rata per tahun hampir 7% selama dekade 1950-an, dan setelah itu turun drastis menjadi rata-rata per tahun hanya 1,9% atau bahkan nyaris mengalami stagflasi selama tahun 1965-1966. Tahun 1965 dan 1966 laju pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) masing-masing hanya sekitar 0,5% dan 0,6%.
Selain laju pertumbuhan ekonomi yang menurun terus sejak tahun 1958, defisit saldo neraca pembayaran (BOP) dan defisit anggaran pendapatan dan belanja pemerintahan (APBN) terus membesar dari tahun ke tahun. Selain itu, selama periode Orde Lama, kegiatan produksi di sektor pertanian dan sektor industri manufaktur berada pada tingkat yang sangat rendah karena keterbatasan kapasitas produksi dan infrastruktur pendukung, baik fisik maupun nonfisik seperti pendanaan dari bank. Akibat rendahnya volume produksi dari sisi suplai dan tingginya permintaan akibat terlalu banyaknya uang beredar di masyarakat mengakibatkan tingginya tingkat inflasi yang sempat mencapai lebih dari 300% menjelang akhir periode Orde Lama.
Memang pada masa pemerintahan Soekarno, selain manajemen moneter yang buruk, banyaknya rupiah yang dicetak disebabkan oleh kebutuhan pada saat itu untuk membiayai dua peperangan yakni merebut Irian Barat serta pertikaian dengan Malaysia dan Inggris, ditambah lagi kebutuhan untuk membiayai penumpasan sejumlah pemberontak di beberapa daerah di dalam negeri.
Dapat disimpulkan bahwa buruknya perekonomian Indonesia selama pemerintahan Orde Lama terutama disebabkan oleh hancurnya infrastruktur ekonomi, fisik, maupun nonfisik selama pendudukan Jepang, Perang Dunia II, dan perang revolusi, serta gejolak politik di dalam negeri (termasuk sejumlah pemberontakan di daerah), ditambah lagi dengan manajemen makro yang sangat jelek selama rezim tersebut (Tambunan, 1991, 1996). Akibatnya, dalam kondisi politik dan sosial dalam negeri seperti ini sangat sulit sekali bagi pemerintah untuk untuk mengatur roda perekonomian dengan baik.
Menurut analisis yang dilakukan oleh Dumairy (1996), periode Orde Lama atau sejak 1945 hingga 1965 dapat dibagi menjadi tiga (3) periode, yaitu: periode 1945-1950, periode demokrasi parlementer (1950-1959), dan demokrasi terpimpin (1959-1965). Periode demokrasi parlementer juga dikenal sebagai periode demokrasi liberal. Dalam periode ini terjadi perubahan kabinet delapan (8) kali, yakni diawali oleh Kabinet Hatta (Desember 1949-September 1950), dan setelah itu berturut-turut Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali I (Agustus 1953- Juli 1955), Kabinet Burhanuddin (Agustus 1955-Maret 1956), Kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957), dan Kabinet Djuanda (Maret 1957-Agustus 1959).
Dilihat dari aspek politiknya selama periode Orde Lama, dapat dikatakan Indonesia pernah mengalami sistem politik yang sangat demokratis, yakni pada periode 1950-1959, sebelum diganti dengan periode demokrasi terpimpin. Akan tetapi sejarah Indonesia menunjukkan bahwa sistem politik demokrasi tersebut ternyata menyebabkan kehancuran politik dan perekonomian nasional. Akibat terlalu banyaknya partai politik yang ada dan semuanya ingin berkuasa, sering terjadi konflik antarpartai politik. Tercatat dalam sejarah bahwa rata-rata umur setiap kabinet hanya satu tahun saja. Waktu yang sangat pendek disertai konflik internal dalam kabinet sehingga tidak memberi kesempatan maupun waktu yang tenang bagi pemerintah yang berkuasa untuk memikirkan bersama masalah-masalah sosial dan ekonomi yang ada, apalagi menyusun suatu program pembangunan dan melaksanakannya (Feith, 1964).
Selama periode 1950-an, struktur ekonomi Indonesia masih peninggalan zaman kolonialisasi. Sektor formal/ modern seperti pertambangan, distribusi, transportasi, bank dan pertanian komersil yang memiliki kontribusi lebih besar daripada sektor informal/ tradisional terhadap output nasional atau PDB didominasi oleh perusahaan-perusahaan asing yang kebanyakan berorientasi ekspor.
Struktur ekonomi seperti yang digambarkan di atas, yang oleh Boeke, (1954) disebut dual societie, adalah salah satu karakteristik utama dari LDCs yang merupakan warisan kolonialisasi. Dualisme dalam suatu ekonomi seperti ini tejadi karena biasanya pada masa penjajahan pemerintah yang berkuasa menerapkan diskriminasi dalam kebijakan-kebijakannya, baik bersifat langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi ini sengaja diterapkan untuk membuat perbedaan dalam kesempatan melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi tertentu antara penduduk asli dan orang-orang nonpribumi.
Pada akhir September 1965, ketidakstabilan politik di Indonesia mencapai puncaknya dengan terjadinya kudeta yang gagal dari Partai Komunis Indonesia (PKI). Sejak peristiwa berdarah tersebut terjadi suatu perubahan politik yang drastis di dalam negeri, yang selanjutnya juga mengubah sistem ekonomi yang dianut Indonesia pada masa Orde Lama, yakni dari pemikiran-pemikiran sosialis ke semikapitalis (kalau tidak, dapat dikatakan ke sistem kapitalis sepenuhnya). Sebenarnya perekonomian Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 menganut suatu sistem yang dilandasi oleh prinsip-prinsip kebersamaan atau koperasi berdasarkan ideologi Pancasila.

2.1.2 Pemerintahan Orde Baru
Tepatnya sejak bulan maret 1966 Indonesia memasuki pemerintahan Orde Baru. Berbeda dengan Orde Lama, dalam era Orde Baru ini perhatian pemerintah lebih ditujukan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan ekonomi dan sosial di tanah air. Pemerintahan Orde Baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat dan menjauhi pengaruh ideologi komunis. Indonesia juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lembaga-lembaga dunia lainnya, seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Sebelum rencana pembangunan lewat Repelita dimulai, terlebih dahulu pemerintah melakukan pemulihan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta rehabillitasi ekonomi di dalam negeri. Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi, menguurangi defisit keuangan pemerintah, dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, termasuk ekspor yang sempat mengalami stagnasi pada masa Orde Lama.
Menjelang akhir tahun 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia) dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Group on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas sejumlah negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di Indonesia. Boleh dikatakan pada saat itu Indonesia sangat beruntung.
Tujuan jangka panjang dari pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui suatu proses industrialisasi dalam skala besar, yang pada saat itu dianggap sebagai satu-satuya cara yang paling tepat dan efektif untuk menanggulangi masalah-masalah ekonomi, seperti kesempatan kerja dan defisit neraca pembayaran. Pada awalnya pemerintah memusatkan pembangunan hanya di sektor-sektor tertentu yang secara potensial dapat menyumbangkan nilai tambah yang besar dalam waktu yang tidak panjang dan hanya di pulau jawa, karena pada saat itu fasilitas-fasilitas infrastruktur dan sumber daya manusia relatif lebih baik dibandingkan di provinsi-provinsi lainnya di luar jawa. Strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi pada Repelita I terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat ekspor dan substitusi impor, industri-industri yang  memproses bahan-bahan baku yang tersedia di dalam negeri, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional, dan juga industri-industri dasar seperti pupuk, semen, kimia dasar, pulp, kertas, dan tekstil.
Pada tahap berikutnya, yakni tinggal landas mengikuti pemikiran Rostow dalam stages of growth-nya, selain stabilisasi, rehabilitasi dan pembangunan yang menyeluruh pada tahap dasar, tujuan utama pelaksanaan Repelita I adalah untuk membuat Indonesia menjadi Swasembada, terutama dalam kebutuhan beras, dengan pertumbuhan rata-rata per tahun pada saat itu sekitar 2,5% dan stabilitas politik juga sangat tergantung pada kemampuan pemerintah menyediakan makanan pokok bagi masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut pemerintah melakukan program penghijauan (”Revolusi Hijau”) di sektor pertanian.
Perubahan ekonomi struktual juga sangat nyata selama Orde Baru bila dilihat dari perubahan pangsa PDB, terutama dari sektor industri. Persentase dari PDB yang berasal dari sektor Industri manufaktur meningkat setiap tahun. Meningkatnya kontribusi output dari sektor industri manufaktur terhadap pembentukan/ pertumbuhan PDB selama periode Orde Baru mencerminkan adanya suatu proses industrialisasi atau transformasi ekonomi di Indonesia, dari negara agraris ke negara semiindustri. Inilah yang menjadi salah satu perbedaan dalam sejarah perekonomian Indonesia antara rezim Orde Lama dengan rezim Orde Baru.
Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak saja disebabkan oleh kemampuan kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Presiden Suharto yang jauh lebih baik/ solid dibanding pada masa Orde Lama dalam menyusun dan melaksanakan rencana, strategi, dan kebijakan pembangunan ekonomi, tetapi juga berkat penghasilan ekspor yang sangat besar dari minyak, terutama pada periode krisis atau oil boom pertama pada tahun 1973/ 1974.
Boleh dikatakan bahwa kebijakan Presiden Suharto yang mengutamakan stabilitas ekonomi, sosial, dan politik serta pertumbuhan ekonomi berdasarkan sistem ekonomi terbuka membuat kepercayaan pihak Barat terhadap prospek ekonomi Indonesia sangat besar dibandingkan dengan banyak LDCs lainnya.
Proses pembangunan dan perubahan ekonomi semakin cepat sejak paruh pertama dekade 1980-an, pemerintah mengeluarkan berbagai paket deregulasi yang diawali di sektor moneter/ perbankan dan sektor riil, dengan tujuan utama meningkatkan ekspor nonmigas Indonesia dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta berkelanjutan. Dengan adanya deregulasi-deregulasi tersebut, sistem perekonomian di Indonesia secara bertahap mengalami pergeseran dari yang sangat tersentralisasi (pada periode 1970-an) menuju desentralisasi dan peranan sektor swasta semakin besar.
Pengalaman ini menunjukan bahwa ada beberapa kondisi utama yang harus dipenuhi terlebih dahulu agar suatu usaha membangun ekonomi dapat berjalan dengan baik, yaitu sebagai berikut:
1.      Kemauan politik yang kuat
2.      Stabilitas politik dan ekonomi
3.      Sumber daya manusia yang lebih baik
4.      Sistem politik dan ekonomi terbuka yang berorientasi ke Barat
5.      Kondisi ekonomi dan politik dunia yang lebih baik
Akan tetapi, hal-hal positif yang dibicarakan di atas tidak mengatakan bahwa pemerintah Orde Baru tanpa cacat. Kebijakan-kebijakan ekonomi selama masa Orde Baru memang telah menghasilkan suatu proses transformasi ekonomi yang pesat dan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi dengan biaya ekonomi tinggi, serta fundamental ekonomi yang rapuh. Hal terakhir ini dapat dilihat antara lain pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing, termasuk pinjaman dan impor. Ini semua akhirnya membuat Indonesia dilanda krisis ekonomi besar yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada pertengahan tahun 1997.

2.1.3 Pemerintahan Transisi
Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997, nilai tukar Baht Thailand terhadap dolar AS mengalami suatu goncangan hebat akibat para investor asing mengambil keputusan ’jual’. Mereka mengambil sikap demikian karena tidak percaya lagi terhadap prospek perekonomian negara tersebut, paling tidak untuk jangka pendek. Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, awal dari krisis keuangan di Asia. Rupiah Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan Juli 1997, dari Rp 2500 menjadi Rp 2650 per dolar AS. Sejak saat itu, posisi mata uang di Indonesia mulai tidak stabil.
Sekitar bulan September 1997, nilai tukar rupiah yang terus melemah mulai menggoncang perekonomian nasional. Untuk mencegah agar keadaan tidak tambah buruk, pemerintah Orde Baru mengambil beberapa langkah konkret, diantaranya menunda proyek-proyek senilai Rp 39 triliun dalam upaya mengimbangi keterbatasan anggaran belanja negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan nilai rupiah tersebut. Tanggal 8 Oktober 1997 pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara resmi akan meminta bantuan keuangan dari IMF. Hal ini juga dilakukan oleh pemerintah Thailand, Filipina, dan Korea Selatan.
Pada akhir bulan Oktober 1997, lembaga keuangan internasional itu mengumumkan paket bantuan keuangannya pada Indonesia yang mencapai 40 miliar dolar AS, 23 miliar diantaranya adalah pertahanan lapis pertama (front-line defence). Paket program pemulihan ekonomi yang disyaratkan IMF pertama kali diluncurkan pada bulan November 1997, bersama pinjaman angsuran pertama senilai 3 miliar dolar AS. Pertama, diharapkan bahwa dengan disetujuinya paket tersebuut oleh pemerintah Indonesia, nilai rupiah akan menguat dan stabil kembali.
Berbeda dengan Korea Selatan dan Thailand, dua negara yang sangat serius dalam melaksanakan program reformasi, pemerintah Indonesia ternyata tidak melaksanakan reformasi sesuai kesepakatannya dengan IMF. Akhirnya, pencairan pinjaman angsuran kedua senilai 3 miliar dolar AS seharusnya dilakukan pada bulan maret 1998 terpaksa diundur. Padahal, Indonesia tidak ada jalan lain selain harus bekerja sama sepenuhnya dengan IMF, terutama karena dua hal berikut (Tambunan, 1998).
1.                      berbeda dengan kondisi krisis di Thailand, Korea Selatan, Filipina, dan Malaysia, krisis ekonomi di Indonesia sebenarnya sudah menjelma menjadi kkrisis kepercayaan. Masyarakat dan dunia usaha, baik di dalam maupun di luar negeri (termasuk bank-bank di negara-negara mitra dagang Indonesia yang tidak lagi mennerima letter of credit (L/C) dari bank-bank nasional dan investor-investor dunia) tidak lagi percaya akan kemampuan Indonesia untuk menanggulangi sendiri krisisnya.
2.                      Indonesia sangat membutuhkan dolar AS. Pada awal tahun 1998, kebutuhan itu diperkirakan sebesar 22,4 miliar dollar AS atau rata-rata 1,9 miliar dollar AS per bulan.

Setelah gagal dalam pelaksanaan kesepakatan pertama itu, dilakukan lagi perundingan-perundingan baru antara pemerintah Indonesia dengan IMF pada bulan Maret 1998 dan dicapai lagi suatu kesepakatan baru pada bulan April 1998. Hasil-hasil perundingan dan kesepakatan itu dituangkan secara lengkap dalam satu dokumen bernama ”Memorandum Tambahan tentang Kebijaksanaan Ekonomi Keuangan”. Secara keseluruhan ada lima memorandum tambahan dalam kesepakatan yang baru ini, yakni sebagai berikut:
1.                    Program stabilisasi, dengan tujuan utama menstabilkan pasar uang dan mencegah hiperinflasi.
2.                    Restrukturasi perbankan, dengan tujuan utama untuk rangka penyehatan sistem perbankan nasional.
3.                    Reformasi struktural, yang mana disepakati agenda baru yang mencakup upaya-upaya dan sasaran yang telah disepakati dalam kesepakatan pertama (15 Januari 1998).
4.                    Penyelesaian ULN swasta (corporate debt). Dalam hal ini disepakati perlunya dikembangkan kerangka penyelesaian ULN swasta dengan keterlibatan pemerintah yang lebih besar, namun tetap dibatasi agar proses penyelesaiannya tetap dapat berlangsung lebih cepat.
5.                    Bantuan untuk rakyat kecil (kelompok ekonomi lemah). Penyelesaian ULN swasta dan bantuan untuk rakyat kecil merupakan dua hal yang di dalam kesepakatan pertama (Januari 1998) belum ada.

Pada pertengahan tahun 1998, atas kesepakatan dengan IMF dibuat lagi memorandum tambahan tentang kebijaksanaan ekonomi dan keuangan. Krisis rupiah yang menjelma menjadi suatu krisis ekonomi akhirnya juga memunculkan suatu krisis politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Diawali dengan penembakan oleh tentara terhadap empat mahasiswa Universitas Trisakti, tepatnya tanggal 3 Mei 1998, yang dikenal dengan sebutan Tragedi Trisakti.
Menjelang minggu-minggu terakhir bulan Mei 1998, DPR pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan mahasiswi/mahasiswa dari puluhan perguruan tinggi dari jakarta dan luar jakarta. Puncak dari keberhasilan gerakan mahasiswa tersebut, di satu pihak, dan dari krisis politik di pihak lain, adalah pada tanggal 21 Mei 1998, yakni Presiden Soeharto mengundurkan diri dan diganti oleh wakilnya, B.J. Habibie. Tanggal 23 Mei 1998, Presiden Habibie membentuk kabinet baru, awal terbentuknya pemerintahan tansisi.

2.1.4 Pemerintahan Reformasi
Bulan Oktober 1999 dilakukan SU MPR dan pemilihan presiden diselenggarakan pada tanggal 20 Oktober 1999. KH. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden RI keempat dan Megawati Soekarno Putri sebagai wakil presiden.
Dalam hal ekonomi, dibandingkan tahun sebelumnya (1999), kondisi perekonomian Indonesia mulai menunjukkan adanya perbaikan. Laju pertumbuhan PDB mulai positif walaupun tidak jauh dari 0% dan pada tahun 2000 proses pemulihan perekonomian Indonesia jauh lebih baik lagi, dengan laju pertumbuhan hampir mencapai 5%. Selain pertumbuhan PDB, laju inflasi dan tingkat suku bunga (SBI) juga rendah, mencerminkan bahwa kondisi moneter di dalam negeri sudah mulai stabil.
Selama pemeritahan Gus Dur, praktis tidak ada satu pun masalah di dalam negeri yang dapat terselesaikan dengan baik. Selain itu, hubungan pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Abdurrahman Wahid dengan IMF juga tidak baik. Kondisi perekonomian nasional pada masa Gus Dur cenderung lebih buruk daripada pemerintahan Habibie. Bahkan, lembaga peringkat internasional Moody’s investor service mengkonfirmasikan bertambah buruknya resiko negara Indonesia. Gus Dur dan kabinetnya tidak menunjukan keinginan politik yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikan krisis ekonomi hingga tuntas dengan prinsip ”Once and for all”. Fenomena makin rumitnya persoalan ekonomi ditunjukan oleh bebrapa indikator ekonomi. Misalnya, pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) antara 30 Maret 2000 hingga 8 Maret 2001 menunjukan tren pertumbuhan ekonomi yang negatif.

2.1.5 Pemerintahan Gotong Royong
keterpurukan kondisi ekonomi yang ditinggal Wahid kian terasa jika dilihat dari perkembangan indikator ekonomi lainnya, seperti tingkat suku bunga, inflasi, saldo neraca pembayaran, dan defisit APBN.
Inflasi yang dihadapi Kabinet Gotong Royong yang dipimpin Megawati sangat berat. Menurut data BPS, inflasi tahunan pada awal pemerintahan Wahid hanya sekitar 2%, sedangkan pada awal pemerintahan Megawati Atau periode Januari-Juli 2001 tingkat inflasi sudah mencapai 7,7%.
Pada tahun 2002 kondisi perekonomian Indonesia sedikit lebih baik daripada tahun 2001, walaupun menjelang akhir tahun 2002 Indonesia digoncang dengan bom Bali.
Rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa pemerintahan Megawati disebabkan antara lain oleh masih kurang berkembangnya investasi swasta, baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA). Dilihat dari sektoral, pada tahun 2001 hampir semua sektor ekonomi mengalami laju pertumbuhan output yang rendah, sedangkan kondisinya pada tahun 2002 berbeda.
Dalam hal ekspor, sejak 2000 nilai ekspor nonmigas Indonesia terus menurun, dari 62,1 miliar dolar AS ke 56,3 miliar dolar AS tahun 2001, dan tahun 2002 42,5 miliar dolar AS (hingga September). Untuk keseluruhan 2002, data terakhir dari BPS menunjukan bahwa pertumbuhan ekspor barang dan jasa Indonesia sangat kecil, hanya 1,24%. Tahun 2001 diperkirakan pasar saham Indonesia tidak mengalami perubahan yang berarti, bahkan merosot.
Melihat indikator lainnya, yakni nilai tukar rupiah, memang kondisi perekonomian Indonesia pada tahun kedua pemerintahan Megawati lebih baik. Akan tetapi, tingkat inflasi tahun 2002 sudah mencapai di atas 10% (dua digit). Akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif telepon serta listrik yang sempat diberlakukan pada awal tahun 2003, tingkat inflasi pada tahun 2003, terutama pada bulan-bulan pertama, bisa jauh lebih tinggi dari 10%. Berbeda dengan pergerakan indeks harga konsumen (IHK), tingkat suku bunga tahun 2002 cenderung menurun, walaupun masih lebih tinggi dibandingkan 1999.
IHSG juga cenderung menurun sejak 1999, yang bisa mencerminkan dua hal. Pertama, bisa berarti kurag menariknya perekonomian Indonesia bagi investor-investor atau reaksi sementara terhadap kejadian-kejadian yang cukup membuat para investor ketakutan untuk menanam uang mereka di pasar modal. Kedua, menurun atau rendahnya IHSG juga bisa disebabkan oleh tingginya suku bunga deposito sehingga menarik lebih banyak modal masyarakat ke sektor perbankan daripada ke pasar modal.
ADB (Asian Development Bank) dalam publikasi Asian Development Outlook 2002 bulan April 2002 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2003 hanya 3,6%. Namun dalam publikasi ADO 2002 Update bulan September 2002, pertumbuhan ekonomi Indonesia diprediksi lebih baik, yakni 4,4%. Sedangkan menurut perkiraan IMF, pertumbuhan PDB riil Indonesia tahun 2003 cukup optimis, yakni sebesar 4,5% (naik dari perkiraan sebelumnya pada tahun 2002 sebesar 3,5%). Dari pihak Indonesia, pemerintah sendiri menargetkan 4%, setelah direvisi dari target semula 5% dalam rencana APBN (RAPBN) 2003, setelah bom Bali.


2.2 Sistem Ekonomi Indonesia
2.2.1 Pengertian-Pengertian Sistem Ekonomi
Menurut Dumairy (1996),
Sistem ekonomi adalah suatu sistem yang mengatur serta menjalin hubungan ekonomi antarmanusia dengan seperangkat kelembagaan dalam suatu tatanan kehidupan. Sebuah sistem ekonomi terdiri atas unsur-unsur manusia sebagai subjek; barang-barang ekonomi sebagai objek; serta seperangkat kelembagaan yang mengatur dan menjalinnya dalam kegiatan ekonomi. Perangkat kelembagaan meliputi lembaga-lembaga ekonomi (formal maupun nonformal); cara kerja; mekanisme hubungan; hukum dan peraturan-peraturan  perekonomian; serta kaidah dan norma-norma lain (tertulis maupun tidak tertuli); yang dipilih atau diterima atau ditetapkan oleh masyarakat di tempat tatanan kehidupan yang bersangkutan berlangsung. Jadi, dalam perangkat kelembagaan ini termasuk juga kebiasaan, perilaku, dan etika masyarakat; sebagaimana mereka terapkan dalam berbagai aktivitas yang berkenaan dengan pemanfaatan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan.

Menurut Sanusi,
Ada tujuh elemen penting dari sistem perekonomian, yakni:
1.      lembaga-lembaga/ pranata-pranata ekonomi
2.      sumber daya ekonomi
3.      faktor-faktor produksi
4.      lingkungan ekonomi
5.      organisasi dan manajemen
6.      motivasi dan perilaku pengambilan keputusan atau pemain dalam sistem itu, dan
7.      proses pengambilan keputusan

Menurut Sanusi (2000), setiap sistem ekonomi dipengaruhi oleh sejumlah kekuatan. Diantaranya adalah:
1.                     sumber-sumber sejarah, kultur/ tradisi, cita-cita, keinginan-keinginan, dan sikap masyarakat.
2.                     SDA, termasuk iklim
3.                     filsafat yang dimiliki dan yang dibela oleh sebagian besar masyarakat
4.                     teorisasi yang dilakukan oleh masyarakat pada masa lalu atau sekarang, mengenai bagaimana cara mencapai cita-cita/ keinginan-keinginan serta tujuan-tujuan/ sasaran-sasaran yang dipilih, dan
5.                     trials dan errors atau uji coba yang dilakukan oleh masyarakat dalam usaha mencari alat-alat ekonomi.

2.2.2 Sistem-Sistem Ekonomi
Secara umum ada tiga macam sistem ekonomi yang dikenal di dunia ini, yakni: sistem ekonomi liberal/ kapitalis; sistem ekonomi sosialis; dan sistem ekonomi campuran, yakni sistem ekonomi yang tidak 100% kapitalis dan tidak 100% sosialis, atau sistem ekonomi yang mengandung elemen-elemen dari sistem ekonomi kapitalis maupun sistem ekonomi sosialis.
a.      Sistem Ekonomi Kapitalis
Ada enam asas yang dapat dilihat sebagai ciri dari sistem ekonomi kapitalis, yakni sebagai berikut:
1.      Hak milik pribadi
2.      Kebebasan berusaha dan kebebasan memilih
3.      Motif kepentingan diri sendiri
4.      Persaingan
5.      Harga ditentukan oleh mekanisme pasar
6.      Peranan terbatas pemerintah

b.      Sistem Ekonomi Sosialis
Seperti yang dijelaskan oleh Dumairy (1996), sistem ekonomi sosalis adalah kebalikan dari sistem ekonomi kapitalis. Bagi kalangan sosialis, pasar justru harus dikendalikan melalui perencanaan terpusat. Adanya berbagai distorsi dalam mekanisme pasar menyebabkan tidak mungkin bekerja secara efisien; oleh karena itu pemerintah atau negara harus turut aktif bermain dalam perekonomian. Satu hal yang penting untuk dicatat berkenaan dengan sistem ekonomi sosialis adalah bahwa sistem ini bukanlah sistem ekonomi yang tidak memandang penting peranan kapital.
Sistem ekonomi sosialis dapat dibagi dalam dua subsistem, yakni sistem ekonomi sosialis dari Marxis, dan sistem ekonomi sosialisme demokrat. Sitem ekonomi sosialis Marxis disebut juga sistem ekonomi komando. Menurut Mubyarto (2000), berdasarkan pengalaman di Jerman, ada enam kriteria sistem ekonomi sosialisme demokrat atau sistem ekonomi pasar sosial (SEPS), yaitu:
1.               ada kebebasan individu dan sekaligus kebijaksanaan perlindungan usaha. Persaingan di antara perusahaan-perusahaan kecil maupun menengah harus dikembangkan.
2.               prinsip-prinsip kemerataan sosial menjadi tekad warga masyarakat.
3.               kebijaksanaan siklus bisni dan kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi.
4.               kebijaksanaan pertumbuhan menciptakan kerangka hukum dan prasarana (sosial) yang terkait dengan pembangunan ekonomi
5.               kebijaksanaan struktural
6.               konformitas pasar dan persaingan

Menurut Mubyarto (2000), ada dua aspek sosial yang sangat penting dari SEPS, yakni peningkatan standar hidup kelompok berpendapatan terendah dan perlindungan terhadap semua warga masyarakat dari kesulitan hidup serta masalah-masalah sosial lain sebagai akibat dari resiko-resiko kesulitan hidup.

c.       Sistem Ekonomi Campuran
Sedangkan sistem ekonomi campuran adalah sistem yang mengandung beberapa elemen dari sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Sistem ini merupakan ”campuran” antara kedua ekstrem sistem ekonomi tersebut di atas dengan berbagai variasi kadar dominasinya.

2.2.3 Sistem Ekonomi Indonesia
Isi pembukaan UUD 1945 menyatakan antara lain bahwa salah satu tujuan negara Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ”negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Dari uraian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa ada tiga asas penting yang mendasari Pancasila dan UUD 1945 (sebelum diamandemen pada tahun 2000) yang membentuk sistem ekonomi Indonesia, yakni kemanusiaan, persaudaraan dan gotong royong.
Sebagai kesimpulan, perbedaan antara sistem ekonomi kapitalisme atau sistem ekonomi sosialisme dengan sistem ekonomi yang dianut oleh Indonesia adalah pada kedua makna yang terkandung dalam keadilan sosial yang merupakan sila kelima Pancasila, yakni prinsip pembagian pendapatan yang adil (dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi) dan prinsip demokrasi ekonomi.

REFERENSI:
  1. T.H Tambunan, Tulus (2003), Perekonomian Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia.