Dalam era yang disebut
sebagai pasca reformasi ini, beberapa tuntutan yang dikemukakan masyarakat akan
tetap ada, terutama yang berkait dengan sektor-sektor yang belum tercapai pada
masa reformasi. Sektor-sektor tersebut diantaranya adalah yang berkaitan dengan
penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pemberantasan korupsi, kolusi dan
Nepotisme. Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan
keadilan di bidang ekonomi.
Politik hukum di Indonesia yang telah
mengarahkan pembangunan hukum pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
tampaknya sudah sangat mendesak untuk direalisir dengan program yang nyata oleh
Pemerintah. Namun yang patut mendapat perhatian, jangan sampai terjebak lagi dengan
angka-angka pertumbuhan ekonomi, tanpa memerhatikan pemerataan ekonomi bagi masyarakat
miskin, sebagaimana yang dilakukan pada era Orde Baru. Cina sebagai macan asia
yang menjadi salah satu Negara yang terkuat perkenomian di dunia telah melakukan
reformasi hukum secara total, menciptakan hukum yang berbasis pada perekonomian
sehingga hukum bisa memperlancar perekonomian dan menjawab semua masalah
ekonomi yang ada.
Pemerintah Orde Baru
menyelenggarakan pembangunan dengan mengusulkan pertumbuhan ekonomi melalui pendekatan
ekonomi gaya trickle dwon effect. Secara teoritis jika orang kaya
meninvestasikan uangnya disektor riil, infrastruktur dan pasar modal, maka akan
ada kegiatan ekonomi yang bergulir dan menghidupi beragam bisnis yang lebih
kecil, dan membuat persaingan dalam dunia bisnis berjalan dinamis, yang pada
akhirnya harga akan terdesak turun sebagai konsekuensi persaingan yang sehat
tersebut. Dengan penggunaan strategi tersebut, diharapkan
konglomerat-konglomerat yang telah ‘dibesarkan’ oleh penguasa akan ‘meneteskan’
rezekinya pada masyarakat miskin, sehingga terjadi pemerataan ekonomi. Pada
saat itu, program pembangunan Indonesia banyak mendapat pujian dari dunia internasional,
diantaranya meraih swasembada beras, dan keberhasilannya memacu pertumbuhan
ekonomi yang cukup tinggi sehingga menjadi salah satu Negara Asia yang mendapat
julukan ‘keajaiban Asia’. Disamping itu, lembaga keuangan dunia semacam World Bank dan IMF juga memuji keberhasilan
pembangunan ekonomi Indonesia.
Namun demikian,
ternyata pertumbuhan ekonomi tinggi diperlihatkan oleh Pemerintah Soeharto
tersebut merupakan window dressing yang digunakan untuk mengelabui mata dunia
dan masyarakat Indonesia. Fundamental ekonomi yang digunakan untuk menopang
pertumbuhan tinggi tersebut sebenarnya sangat ‘keropos’, hal ini disebabkan
konglomerat dan dunia perbankan yang pada saat itu menjadi tulang punggung dan
senantiasa
mendapatkan keistimewaan dari pemerintah
ternyata bukan entrepreneur dan banker dalam arti yang sebenarnya, tetapi
mereka hanya rent seeking (pemburu
rente) dan para penjarah kekayaan Negara, serta rakyat Indonesia. Akibatnya
‘tetesan’ rezeki ke masyarakat miskin yang kemudian akan berbuah
kemakmuran dikonsepkan para arsitektur
ekonomi ternyata tidak pernah terjadi. Puncak dari semua permsalahan ini adalah
ketika terjadinya krisis moneter tahun 1997, hal ini menunjukkan betapa
rapuhnya perekonomian bangsa yang dibangun selama ini sehingga menuntut untuk
dilakukannya reformasi, krisis ekonomi ini juga membawa imbas kepada krisis
lainnya seperti krisis sosial, krisis politik dan krisis kepemimpinan di
Inonesia.
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar