Kamis, 21 Juni 2012

Perlindungan Konsumen


A.      Pengertian Konsumen
Konsumen yaitu beberapa orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya. Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.

B.       Azas Dan Tujuan
Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
1.     Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2.     Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3.     Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.     Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
5.     Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
6.     Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1.       Asas manfaat, Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2.      Asas keadilan, Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3.      Asas keseimbangan, Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
4.      Asas keamanan dan keselamatan konsumen, Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan
5.      Asas kepastian hukum, Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum

C.      Hak Dan Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4 Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
1.        Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.        Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.        Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.        Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.        Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.        Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.        Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.        Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.        Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1.        Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2.        Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3.        Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4.        Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

D.      Hak Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.      hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.      hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.      hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.      hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.      hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sedangkan kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.         beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2.         memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.         memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.         menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.         memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
6.         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.         memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bila diperhatikan dengan seksama, tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif, tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.

E.       Perbuatan Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal 8:
1.        Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.         tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan
b.        tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut
c.         tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d.        tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.         tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
f.         tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut
g.        tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
h.        tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
i.          tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat
j.          tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
2.        Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud
3.        Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar
4.        Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran

Pasal 9
1.      Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah
a.         barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
b.        barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
c.         barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor , persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d.        barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
e.         barang dan/atau jasa tersebut tersedia
f.         barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi
g.        barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu
h.        barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i.          secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain
j.          menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap
k.        menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti
2.        Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
3.        Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut

F.       Klausula Baku Dalam Perjanjian
Di dalam pasal 18 undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1.        menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
2.        menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen.
3.        pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
4.        pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5.        mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
6.        memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.

Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.

G.      Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Hukum tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to the person or property of a buyer third party, caused by product which has been sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person injured by the use of product.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Seperti di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang, grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.
Kesulitan tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability principle).
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah:
1.        Di antara korban/konsumen di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya tersebut di pasaran;
2.        Dengan menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
3.        Sebenarnya tanpa menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor, distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.

Dengan demikian apapun alasannya, pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen. Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha dimintai pertanggungjwaban.

H.      Sanksi
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 ).

Referensi:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar