A.
Pengertian
Konsumen
Konsumen yaitu beberapa
orang yang menjadi pembeli atau pelanggan yang membutuhkan barang untuk mereka
gunakan atau mereka konsumsi sebagai kebutuhan hidupnya. Pembangunan dan
perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan
perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa
yang dapat dikonsumsi. Di samping itu, globalisasi dan perdaganan bebas yang
didukung oleh kemajuan teknologi telekomunikasi dan infomatika telah memperluas
ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa melintasi batas-batas wilayah
suatu negara, sehingga barang dan/atau jasa yang, ditawarkan bervariasi baik
produksi luar negeri maupun produksi dalam negeri. Kondisi yang demikian pada
satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan
barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi serta semakin terbuka
lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis dan kualitas barang dan/atau jasa
sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen.
B.
Azas
Dan Tujuan
Sebelumnya telah
disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan
di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya.
Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen
adalah:
1.
Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri
2.
Mengangkat harkat dan martabat konsumen
dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
3.
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
4.
Menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi
5.
Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha
mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha
6.
Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum
perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
1. Asas manfaat, Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan
pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi
dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
2. Asas keadilan, Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan
melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan
menunaikan kewajibannya secara seimbang.
3. Asas keseimbangan, Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan
konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak
ada pihak yang lebih dilindungi.
4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, Diharapkan penerapan UU PK akan
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan
5. Asas kepastian hukum, Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha
mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum
C.
Hak
Dan Kewajiban Konsumen
Sesuai dengan Pasal 4
Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), Hak-hak Konsumen adalah :
1.
Hak atas kenyamanan, keamanan dan
keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.
Hak untuk memilih barang dan/atau jasa
serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.
Hak atas informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.
Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.
Hak untuk mendapatkan advokasi,
perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara
patut;
6.
Hak untuk mendapat pembinaan dan
pendidikan konsumen;
7.
Hak untuk diperlakukan atau dilayani
secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan
Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
1.
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi
dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
keselamatan;
2.
Beritikad baik dalam melakukan transaksi
pembelian barang dan/atau jasa;
3.
Membayar sesuai dengan nilai tukar yang
disepakati;
4.
Mengikuti upaya penyelesaian hukum
sengketa perlindungan konsumen secara patut.
D.
Hak
Dan Kewajiban Pelaku Usaha
Seperti
halnya konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak dan kewajiban. Hak pelaku usaha
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPK adalah:
1.
hak untuk menerima
pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2.
hak untuk mendapat perlindungan
hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
hak untuk melakukan
pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
hak untuk rehabilitasi
nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan
oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
hak-hak yang diatur dalam
ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan
kewajiban pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 7 UUPK adalah:
1.
beritikad baik dalam
melakukan kegiatan usahanya;
2.
memberikan informasi yang
benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta
memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3.
memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4.
menjamin mutu barang
dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan
standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5.
memberi kesempatan kepada
konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta
memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6.
memberi kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7.
memberi kompensasi, ganti
rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang dterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Bila diperhatikan dengan seksama,
tampak bahwa hak dan kewajiban pelaku usaha bertimbal balik dengan hak dan
kewajiban konsumen. Ini berarti hak bagi konsumen adalah kewajiban yang harus
dipenuhi oleh pelaku usaha. Demikian pula dengan kewajiban konsumen merupakan
hak yang akan diterima pelaku usaha.
Bila dibandingkan dengan ketentuan
umum di Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, tampak bahwa pengaturan UUPK lebih
spesifik. Karena di UUPK pelaku usaha selain harus melakukan kegiatan usaha
dengan itikad baik, ia juga harus mampu menciptakan iklim usaha yang kondusif,
tanpa persaingan yang curang antar pelaku usaha.
E.
Perbuatan
Yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Pasal
8:
1.
Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a.
tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan
standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan
b.
tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih
atau netto,dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label
atau etiket barang tersebut
c.
tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan
dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya
d.
tidak sesuai dengan kondisi, jaminan,
keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau
keterangan barang dan/atau jasa tersebut
e.
tidak sesuai dengan mutu, tingkatan,
komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana
dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut
f.
tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan
dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau
jasa tersebut
g.
tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau
jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu
h.
tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara
halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label
i.
tidak memasang label atau membuat penjelasan
barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi,
aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha
serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus
dipasang/dibuat
j.
tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku
2.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang
yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara
lengkap dan benar atas barang dimaksud
3.
Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan
farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa
memberikan informasi secara lengkap dan benar
4.
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada
ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut
serta wajib menariknya dari peredaran
Pasal 9
1. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan atau seolah-olah
a.
barang tersebut telah memenuhi dan/atau
memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode
tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu
b.
barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau
baru
c.
barang dan/atau jasa tersebut telah
mendapatkan dan/atau memiliki sponsor , persetujuan, perlengkapan tertentu,
keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu
d.
barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh
perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi
e.
barang dan/atau jasa tersebut tersedia
f.
barang tersebut tidak mengandung cacat
tersembunyi
g.
barang tersebut merupakan kelengkapan dari
barang tertentu
h.
barang tersebut berasal dari daerah tertentu
i.
secara langsung atau tidak langsung
merendahkan barang dan/atau jasa lain
j.
menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti
aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko atau efek sampingan tanpa
keterangan yang lengkap
k.
menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang
belum pasti
2.
Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan
3.
Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan
barang dan/atau jasa tersebut
F.
Klausula
Baku Dalam Perjanjian
Di dalam pasal 18
undang-undang nomor 8 tahun 1999, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan jasa
yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula
baku pada setiap dokumen atau perjanjian, antara lain :
1.
menyatakan pengalihan tanggungn jawab pelaku usaha .
2.
menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang dibeli konsumen.
3.
pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang atau jasa yang di beli konsumen.
4.
pemberian klausa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara
langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang
berkaitan dengan barang yang dibeli konsumen secara angsuran
5.
mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
manfaat jasa yang dibeli oleh konsumen.
6.
memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa.
Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara terlihat atau tidak dapat dibaca seacra
jelas atau yang pengungkapannya sulit dimengerti sebagai konsekuensinya setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha dalam dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana di atas telah dinaytakan batal
demi hukum. Oleh karena itu , pelaku usaha diwajibkan untuk menyesuaikan
klausula baku yang dibuatnya yang bertentangan dengan undang-undang.
G.
Tanggung
Jawab Pelaku Usaha
Hukum
tentang tanggung jawab produk ini termasuk dalam perbuatan melanggar hukum
tetapi diimbuhi dengan tanggung jawab mutlak (strict liability), tanpa melihat
apakah ada unsur kesalahan pada pihak pelaku. Dalam kondisi demikian terlihat
bahwa adagium caveat emptor (konsumen bertanggung jawab telah ditinggalkan) dan
kini berlaku caveat venditor (pelaku usaha bertanggung jawab).
Istilah
Product Liability (Tanggung Jawab Produk) baru dikenal sekitar 60 tahun yang
lalu dalam dunia perasuransian di Amerika Serikat, sehubungan dengan dimulainya
produksi bahan makanan secara besar-besaran. Baik kalangan produsen (Producer
and manufacture) maupun penjual (seller, distributor) mengasuransikan
barang-barangnya terhadap kemungkinan adanya resiko akibat produk-produk yang
cacat atau menimbulkan kerugian tehadap konsumen.
Produk
secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang
(tangible goods), baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak. Namun dalam
kaitan dengan masalah tanggung jawab produser (Product Liability) produk bukan
hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible seperti
listrik, produk alami (mis. Makanan binatang piaraan dengan jenis binatang
lain), tulisan (mis. Peta penerbangan yang diproduksi secara masal), atau
perlengkapan tetap pada rumah real estate (mis. Rumah). Selanjutnya, termasuk
dalam pengertian produk tersebut tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi
secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Tanggung
jawab produk (product liability), menurut Hursh bahwa product liability is the
liability of manufacturer, processor or non-manufacturing seller for injury to
the person or property of a buyer third party, caused by product which has been
sold. Perkins Coie juga menyatakan Product Liability: The liability of the
manufacturer or others in the chain of distribution of a product to a person
injured by the use of product.
Dengan
demikian, yang dimaksud dengan product liability adalah suatu tanggung jawab
secara hukum dari orang atau badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacture) atau dari orang atau badan yang bergerak dalam suatu proses untuk
menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau orang atau badan yang
menjual atau mendistribusikan produk tersebut.
Bahkan
dilihat dari konvensi tentang product liability di atas, berlakunya konvensi
tersebut diperluas terhadap orang/badan yang terlibat dalam rangkaian komersial
tentang persiapan atau penyebaran dari produk, termasuk para pengusaha, bengkel
dan pergudangan. Demikian juga dengan para agen dan pekerja dari badan-badan
usaha di atas. Tanggung jawab tersebut sehubungan dengan produk yang cacat sehingga
menyebabkan atau turut menyebabkan kerugian bagi pihak lain (konsumen), baik
kerugian badaniah, kematian maupun harta benda.
Seperti
di kemukakan di atas, bahwa jika dilihat secara sepintas, kelihatan bahwa apa
yang di atur dengan ketentuan product liability telah diatur pula dalam
KUHPerdata. Hanya saja jika kita menggunakan KUHPerdata, maka bila seorang
konsumen menderita kerugian ingin menuntut pihak produsen (termasuk pedagang,
grosir, distributor dan agen), maka pihak korban tersebut akan menghadapi
beberapa kendala yang akan menyulitkannya untuk memperoleh ganti rugi.
Kesulitan
tersebut adalah pihak konsumen harus membuktikan ada unsur kesalahan yang
dilakukan oleh pihak produsen. Jika konsumen tidak berhasil membuktikan
kesalahan produsen, maka gugatan konsumen akan gagal. Oleh karena berbagai
kesulitan yang dihadapi oleh konsumen tersebut, maka sejak tahun 1960-an, di
Amerika Serikat di berlakukan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability
principle).
Dengan
diterapkannya prinsip tanggung jawab mutlak ini, maka setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk atau barang yang cacat atau tidak aman dapat
menuntut kompensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidak adanya unsur
kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak (strtict liability) diterapkan dalam
hukum tentang product liability adalah:
1.
Di antara korban/konsumen
di satu pihak dan produsen di lain pihak, beban kerugian (resiko) seharusnya
ditanggung oleh pihak yang memproduksi/mengeluarkan barang-barang cacat/berbahaya
tersebut di pasaran;
2.
Dengan
menempatkan/mengedarkan barang-barang di pasaran, berarti produsen menjamin
bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk dipergunakan, dan bilamana
terbukti tidak demikian, dia harus bertanggung jawab;
3.
Sebenarnya tanpa
menerapkan prinsip tanggung jawab mutlak-pun produsen yang melakukan kesalahan
tersebut dapat dituntut melalui proses penuntutan beruntun, yaitu konsumen
kepada pedagang eceran, pengecer kepada grosir, grosir kepada distributor,
distributor kepada agen, dan agen kepada produsen. Penerapan strict liability
dimaksudkan untuk menghilangkan proses yang panjang ini.
Dengan demikian apapun alasannya,
pelaku usaha harus bertanggung jawab apabila ternyata produk yang dihasilkannya
cacat atau berbahaya. Informasi akurat dan lengkap merupakan hak konsumen.
Apabila kewajiban ini tidak dipenuhi, maka sudah semestinya pelaku usaha
dimintai pertanggungjwaban.
H.
Sanksi
Masyarakat boleh merasa lega
dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian
terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat
perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku
usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai
berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap :
pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai
dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran,
komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang
barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan
tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat,
atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku
bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli
konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2)
Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda
paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku
usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan
konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral,
pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan
atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi
iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana
yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada
lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu
pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan
kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang.
Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota
pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau
dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana,
selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak
ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan
bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah
dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih
banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran
polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula
baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan
dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut
sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan
dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini
dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling
banyak Rp.500 juta rupiah.
Dalam kenyataannya aparat
penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa
dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku
usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan
kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan
hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan
pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab
pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak
Kepolisian. ( Oktober 2004 ).
Referensi:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar